Beranda | Artikel
Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 5)
Jumat, 25 Desember 2020

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 4).

 

Larangan berlebihan dalam memuji

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nasara melampaui batas dalam menyanjung Nabi ‘Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal jelas beliau adalah utusan Allah Ta’ala yang paling mulia. Tentunya, ilmu dan amal ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah paling bagus dan paling layak dipuji.

Kendati demikian, tetap saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memujinya. Karena selain melanggar syariat, juga akan menjerumuskan kepada bahaya yang besar, bahkan bisa sampai menyeret pelakunya kepada menyembah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nasara terhadap Nabi Isa Alaihis salam, sampai mereka mengklaim bahwa Nabi Isa Alaihis salam adalah tuhan (baca surat Al-Maidah: 72) dan anak tuhan (baca surat At-Taubah: 30).

Ghuluw adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kita

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas (ghuluw), karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kalian” (HR. An-Nasa’i dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahumallah).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang kita dari berbuat ghuluw (melampui batas). Larangan dari ghuluw di sini bersifat umum, mencakup berlebihan dalam masalah keyakinan maupun perbuatan. Termasuk juga larangan dari berlebihan dalam bersikap terhadap orang-orang salih yang bisa menjerumuskan mereka dalam penyembahan terhadap orang-orang salih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan sebab larangan tersebut, yaitu sikap ghuluw adalah penyebab kebinasaan umat sebelum kita.

Dengan demikian, dalam hadis ini hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan umat ini dari kebinasaan dengan melarang penyebabnya, yaitu bersikap melampaui batas (ghuluw). Dan tentunya, ghuluw terhadap orang-orang salih termasuk ke dalam larangan tersebut. Hal ini disebabkan karena ghuluw terhadap orang-orang salih terbukti menyebabkan kesyirikan besar. Bahkan kesyirikan besar yang pertama kali terjadi di muka bumi adalah ghuluw terhadap orang-orang salih.

Binasalah orang-orang yang melampaui batas

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (tanaththu’). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali.”

Penjelasan

Dalam hadis di atas, hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang tanaththu’  itu binasa dan bahwa tanaththu’ itu sebab kebinasaan. Beliau ungkapkan makna itu dengan mengulangi sabdanya sampai 3 kali. Hal ini mengandung makna larangan yang tegas dari berbuat  tanaththu’.

Penjelasan maksud tanaththu’

Secara bahasa, tanaththu’ adalah berlebihan dalam berbicara dengan menfasih-fasihkan ucapan. Namun dalam hadis yang mulia ini, maksud tanaththu’ tidak terbatas pada berlebihan dalam berbicara, tetapi juga berlebihan dalam berdalil dan beralasan, serta berlebihan dalam beribadah. Intinya, tanaththu’ yang dimaksud dalam hadis yang mulia ini adalah berlebihan dalam ucapan maupun perbuatan [1].

Contoh bentuk tanaththu’ yang terlarang

1. Berlebihan dalam mengkritik sehingga sampai menjatuhkan kehormatan pihak yang dikritik, menghinanya dengan kata-kata kotor, tidak mengakui kebaikannya dan tidak adil terhadapnya sehingga berlaku zalim.

2. Berlebihan dalam memuji dengan meninggikan derajat seseorang yang sebenarnya belum sampai kepada kedudukan  dalam pujian tersebut, serta menggelari dengan gelar-gelar yang jauh dari fakta. Karena setiap gelar dan julukan, hakikatnya memiliki kriteria yang dipersyaratkan. Apalagi jika gelar tersebut adalah gelar ilmiah keagamaan.

3. Berlebihan dalam menuduh atau pun mengklaim sesuatu, tanpa bukti ilmiah yang mendasari. Karena sesungguhnya setiap kasus ada cara pembuktian secara ilmiah. Juga karena kehormatan seorang muslim demikian mahal, sehingga barangsiapa yang menuduh dengan sebuah tuduhan tanpa bukti ilmiah, akan berat pertanggungjawabannya di akhirat.

4. Berlebihan dalam berbicara dalam menanggapi peristiwa atau urusan tertentu. Apalagi jika terkait dengan urusan kemaslahatan kaum muslimin secara luas atau urusan yang berdampak membahayakan kaum muslimin seacara luas. Lebih-lebih lagi di masa fitnah yang penuh dengan ketidakjelasan, manakah yang benar dan manakah yang salah. Maka tentu tidak setiap orang berhak berbicara menilai, mengklaim, apalagi sampai menuduh dan memprovokasi. Hal ini karena tentunya hanya orang yang berkompeten dan memiliki kriteria khusus yang berhak menilainya.

Kesimpulan

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian)” (QS. An-Nisa: 83).

Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahumallah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ فِتَنٌ ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْمَاشِي ، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي ، وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ ، وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ

“Akan terjadi fitnah-fitnah, pada saat itu orang duduk lebih baik dari orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan, sedangkan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berbuat [2].

Dan barangsiapa yang mendekati fitnah [3], niscaya fitnah akan membinasakannya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat membentengi diri atau tempat berlindung, maka hendaklah ia berlindung dengannya [4].”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas menjelaskan bahwa kelak akan terjadi fitnah, yaitu keadaan yang samar diwarnai ketidakjelasan. Hal ini karena adanya kebodohan, tidak paham kebenaran, tidak berkompeten, dan tidak memiliki otoritas namun ikut campur di dalam masalah fitnah, sehingga fitnah itu pun membahayakan kaum muslimin.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/60164-antara-berlebihan-dan-merendahkan-orang-shalih-bag-5.html